Implementasi UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Home / Implementasi UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Refleksi 6 Tahun Implementasi Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa
(Merajut Asa Akuntabilitas sosial dalam berDesa)
*Oleh : Luqmanul Hakim
*BPD Desa Kedungoleng

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan berdesa. Bagaimana tidak, kebanyakan desa yang selama ini hanya mengelola aset milik desa dan sebagian bantuan dari pemerintah kabupaten maupun propinsi, kini tiba-tiba harus mengelola dana ratusan juta hingga milyaran rupiah. Sebagian besar desa yang belum siap, kemudian terlena dengan amanat yang diberikan oleh UU tersebut yang berupa pelimpahan kewenangan kepada desa untuk membangun dirinya sendiri dengan dibekali modal yang tidak sedikit oleh pemerintah pusat. Kepala desa selaku pemegang kuasa pengguna anggaran desa tidak jarang menjadi gelap mata dan harus berakhir tragis karena terjerat kasus kejahatan korupsi. Sementara sebagian kecil desa yang sudah siap, menuai berkah dari implementasi UU tersebut. Mereka saat ini menikmati indahnya dinamika membangun desanya sendiri. Pembangunan baik fisik maupun pemberdayaan berjalan beriringan secara proporsional. Hasilnya, desa mereka menjadi desa yang maju dalam berbagai bidang, serta mandiri dalam menghidupi dirinya sendiri.
Implementasi UU desa yang sudah berjalan selama kurang lebih 6 tahun memang bukan perkara mudah. Persepektif masyarakat desa, kualitas sumberdaya manusia, peran supra desa serta dinamika politik nasional mempunyai peran yang sangat signifikan dalam kelancaran implementasi UU desa. Empat masalah tersebut muncul baik secara bersamaan maupun salah satunya.
*Perspektif masyarakat desa
Sudut pandang masyarakat desa terhadap bantuan yang diberikan pemerintah selama ini masih bersifat konsumtif. Mereka beranggapan bahwa apa yang diberikan oleh pemerintah merupakan sesuatu yang langsung bisa dinikmati. Hal ini tidak lepas dari pola program bantuan yang selama ini diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat. Program seperti BLT, PKH, BSM dan lain-lain merupakan program yang secara perlahan membentuk mainset masyarakat tentang bantuan oleh pemerintah. Imbasnya ketika dana desa diberikan kepada desa, maka program-program yang dijalankan oleh kepala desa, tidak berimbang antara kegiatan yang bersifat konsumtif (habis pakai) dengan program yang bersifat pemberdayaan (produktif).
Di sisi lain, masyarakat desa juga masih beranggapan bahwa kepala desa adalah penguasa tertinggi di desa, yang diberi mandat secara penuh oleh sebagian besar warga melalui pemilihan kepala desa untuk mengelola dana desa sesuai dengan program yang kades buat, tanpa melibatkan warga dalam perencanaan.
*Kualitas sumberdaya manusia
Minimnya kualitas sumberdaya manusia di desa menjadi masalah yang juga sangat berpengaruh terhadap suksesnya implementasi UU desa. Masih banyak pemerintah desa dan masyarakat desa yang justru bingung dalam memahami regulasi turunan dari UU desa yang dijadikan pijakan dalam menjalankan amanat UU tersebut. Hal ini menjadikan mereka berpikir pragmatis, aturan yang benar-benar tertulis jelas yang mereka jalankan. Padahal ada beberapa kemungkinan yang jika dieksplorasi akan memunculkan inovasi-inovasi yang sangat berguna bagi pengembangan desa. Dalam tataran ini, Inovasi di desa menjadi mandeg karena kegagalan memahami aturan.
Era keterbukaan informasi seperti saat ini, sebenarnya agak terburu-buru apabila kita menyimpulkan bahwa sumber daya manusia di desa belum mampu menjalankan amanat UU desa. Di beberapa desa yang terjadi lebih tepatnya adalah warga yang memiliki wawasan, ide-ide kreatif dan inovatif tentang desa, belum memiliki rasa kepedulian terhadap desanya sendiri atau lebih ironis lagi mereka justru tidak diberi ruang oleh penguasa desa untuk berperan.
*Peran supra desa
Supra desa merupakan instansi di atas desa dari kecamatan sampai dengan pemerintah pusat, yang sebelum UU desa berlaku, memiliki peran sentral dalam membangun desa. Sedangkan setelah munculnya UU desa, peran supra desa lebih kepada pengawasan dan pembinaan terhadap desa. Agaknya perubahan peran yang cukup signifikan ini, masih belum berjalan secara baik. Hasrat untuk menginterfensi kehidupan rumah tangga di desa, masih sering muncul walaupun tidak secara sistematis akan tetapi melalui oknum-oknum yang mengatasnamakan pengawasan dan pembinaan.
Kondisi semacam ini kemudian menghambat kehidupan rumahtangga di desa, banyak program-program desa yang justru tidak sesuai dengan kebutuhan desa karena muncul atas inisiasi dari supra desa.
*Dinamika sosial politik nasional
Politik itu dinamis. Sebuah istilah yang tidak jarang dijadikan dalil politik untuk melakukan pembenaran atas perbuatan yang melanggar etika sosial sekalipun. Dalam konteks desa, tidak jarang aturan-aturan yang ada masih dipengaruhi oleh kondisi politik yang sulit dijelaskan dengan pemahaman teoritis. Misalnya tentang kementrian yang mengatur desa. Secara teoritis berapapun kementrian yang mengatur desa tentu tidak masalah. Asalkan mereka secara bersama-sama menjalankan program untuk desa secara konvergen. Akan tetapi yang terjadi tidak demikian. Ketika kementrian A dan kementrian B sama-sama mengurusi desa, dimana mentrinya dari latar belakang parpol berbeda, terkadang terjadi gesekan kepentingan yang imbasnya membingungkan bagi desa ditingkat bawah.
Selain persoalan di atas, warga desa yang juga merupakan penduduk sebuah negara seringkali menjadi objek yang dieksploitasi untuk kepentingan hajat politik daerah maupun nasional. Akibatnya masyarakat dalam sebuah desa terkotak-kotak dan sulit disatukan. Situasi ini tentu menjadi tidak kondusif untuk pembangunan di desa.
*Merajut Asa Akuntabilitas sosial dalam berDesa
Akuntabilitas sosial dalam berdesa harus dimulai dari proses perencanaan yang baik. Pelibatan seluruh stakeholder dalam musyawarah menjadi pokok dalam perencanaan pembangunan di desa. Untuk mencapai itu, yang pertama harus diluruskan adalah pemahaman masyarakat bahwa musyawarah adalah kekuasaan tertinggi di desa. Hal ini penting, sebab masih banyak masyarakat yang memahami bahwa kepala desa sebagai kuasa pengguna anggaran desa berhak menggunakan anggaran sesuai dengan kepentingannya tanpa melibatkan masyarakat sebagai penerima layanan.
Proses perancangan berjenjang dari tingkat RT, RW, dusun sampai dengan desa harus dilakukan secara sistematis dan bermutu. Bermutu disini berarti segala sumberdaya di desa harus diberdayakan agar tercipta perencanaan yang komprehensif. Kebutuhan bidang fisik dan pemberdayaan masyarakat harus terakomodir secara proporsional agar pembangunan menjadi berimbang. Pihak-pihak yang dianggap kompeten di desa dalam berbagai bidang harus dilibatkan agar dapat menutup kelemahan kualitas sumberdaya manusia di desa.
Dalam proses perencanaan, supradesa dapat mengambil peran sebagai narasumber yang memberi arahan dan rujukan regulasi agar perencanaan di desa tidak melenceng dari aturan kewenangan lokal desa sesuai amanat undang-undang desa. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa supradesa hanya peerlu mendampingi tanpa mengintervensi. Dokumen perencanaan yang telah disepakati bersama pemdes dan BPD kemudian menjadi semacam “kontrak sosial” antara pemerintah desa sebagai penyedia layanan dengan warga desa sebagai penerima layanan.
Selanjutnya setelah proses perencanaan berjalan, tahapan terpenting lainnya adalah pengimplementasian dokumen perencanaan. Pada tahapan ini seringkali terjadi masalah, sehingga banyak kepala desa yang tersandung kasus karena gagal menjalankan tugasnya dengan baik. Apabila proses perencanaan seperti yang dipaparkan di atas sudah berjalan dengan sesuai aturan, maka di tahap ini akan muncul kepedulian dari masyarakat untuk bersama-sama mengawasi karena merasa terlibat dalam proses perencanaan. Kepala desa sebagai kuasa pengguna anggaran juga merasa diawasi sehingga tidak tanduknya akan lebih berhati-hati. Banyak kasus yang melibatkan kepala desa terjadi karena longgarnya pengawasan dari berbagai pihak.
Pada ahirnya akuntabilitas sosial dalam berdesa akan tercipta apabila semua pihak dapat menempatkan diri pada posisi masing-masing sesuai dengan kewenangannya. Masyarakat diberi akses seluas-luasnya terhadap informasi tentang desa dan pembangunan desa serta terpenuhi kebutuhan hak dasarnya. Pemerintah desa harus pula menyadari bahwa pertanggungjawaban tidak hanya bersifat administratif (vertikal) akan tetapi pertanggungjawaban terhadap warga (horizontal) adalah juga sangat penting.

Leave a Comment

About Guardian

All the Lorem Ipsum generators on the Internet tend to repeat predefined an chunks as necessary, making this the first true generator on the Internet. All the Lorem Ipsum generators on the Internet tend to repeat predefined Lorem Ipsum as their default model text, and a search for web sites.


Flickr Photos